Oleh Yanto S Utomo
Kita harus berubah. Kapan? Ya sekarang. Jangan ditunda-tunda lagi. Tak harus menunggu klenik “Rabu Pon”, sebagai hari terbaik. Kita harus yakin, semua hari itu baik untuk berubah. Jangan sampai justru perubahan yang menggilas kita.
Tentu kita tidak mau hanya menjadi penonton. Kita pun tak mau hanya menjadi obyek perubahan. Apalagi hanya menonton kesuksesan orang lain yang telah duluan berubah. Sungguh menyakitkan!
Bagi kita, perubahan adalah keniscayaan. Walaupun perubahan itu harus dengan jalan peperangan. Perang melawan kenyataan di lapangan yang sadis. Perang melawan idealisme lama yang membelenggu. Perang melawan diri sendiri yang masih merasa hebat. Juga perang melawan kesuksesan masa lalu. Apalagi sudah banyak cerita sukses bagi mereka yang ikut berperang.
Mau menunggu apa lagi?
Kita harus ikut berperang. Jangan hanya menjadi penonton peperangan. Perang itu kompetisi. Ada yang kita nantikan; kalah atau menang. Menjadi penonton justru bisa berbahaya bagi kita. Yang jelas, menjadi penonton pasti tidak mungkin menjadi pemenang. Bila apes, peluru nyasar pun justru membunuh kita. Ikut perang ada harapan untuk menang.
Ayo gunakan jimat “Aji Mumpung” kita.
Mumpung belum terlalu ketinggalan. Mumpung masih memiliki banyak sumberdaya dan peluru. Mumpung ada kesempatan dan alasan berubah. Juga mumpung ada contoh kesuksesan bagi mereka yang telah berubah terlebih dahulu.
Siapa kita? Kita adalah media cetak alias koran alias koran cetak.
Tentu akan timbul pertanyaan: koran cetak harus berubah menjadi apa? Jawabanya pun simpel. Ya, tetap menjadi media. Tapi tidak harus mati-matian selalu cetak seratus persen. Ada platform lain yang bisa dijadikan media untuk berubah. Namanya platform digital.
Tinggal kadar perubahannya saja yang perlu dipikirkan. Apakah berubah 100 persen ke digital? Atau, apakah cukup “jalan tengah”? Atau juga pilihan yang lebih ekstrin. Koran cetak tetap serius. Media digital juga sangat bersungguh-sungguh. Situasi dan kondisi media itu sendiri yang bisa menentukan kadarnya.
Dalam “Festival Ide” yang digelar di Graha Pena Radar Cirebon, akhir tahun lalu, banyak hal yang menarik soal perubahan tersebut. Sejumlah ide pengelola koran di bawah naungan Disway National Networks (DNN), khusus di Jawa, diputuskan dua kesimpulan. Pertama, koran yang oplah edarnya kecil, diputuskan untuk berubah 100 persen ke digital. Kedua, bagi koran yang masih beroplah besar untuk mengambil “pilihan ekstrim”. Tetap semangat menerbitkan koran tetapi juga menggarap digital secara serius. Tidak boleh digital hanya sebagai pendukung koran cetak.
Mengapa harus ada yang memilih “jalan tengah”? Jujur saja hingga hari ini koran belum mati. Bahkan masih ada yang bertumbuh omzetnya, terutama iklan. Ada pula yang keuntungannya naik luar biasa. Setidaknya masih ada yang bisa memberikan keuntungan bagi pengelolanya, walau tidak sebesar dulu.
Konten koran cetak masih memiliki kualitas yang baik. Sangat dipercaya masyarakat, pemerintah maupun dunia usaha. Koran cetak masih menjadi acuan. Masih menjadi produk jurnalistik kasta tertinggi.
Tetapi ada ancaman yang serius di koran cetak. Setidaknya ada dua yang paling berbahaya. Pertama, bahan baku pembuat koran yang naiknya menggila. Yang menjadi beban tetap koran. Samakin banyak koran dicetak. Kian besar pula beban yang harus ditanggung. Lihat saja, koran-koran sekarang semakin tipis jumlah halamannya. Artinya semakin sedikit pula konten beritanya.
Bisa saja beban itu dialihkan dengan cara menaikkan harga jual. Beban itu menjadi tanggungan konsumen. Itu juga pilihan sangat sulit. Tidak mungkin biaya kemahalan koran diserahkan ke konsumen. Kondisi makro ekonomi kita juga tidak sedang baik baik saja. Alasan lain, informasi melalui media digital justru cenderung gratis.
Yang kedua soal SDM. Yang perlu disadari regenerasi di koran cetak itu sudah semakin sulit. Anak-anak muda semakin sedikit yang ingin menjadi wartawan. Di marketing iklan dan pemasaran juga sama. Apalagi anak muda yang mau meneruskan menjadi agen dan pengecer koran. Yang ini kian sulit dicari.
Di sisi lain, banyak anak muda yang tertarik di dunia digital. Mereka antusias menjadi konten kreator. Profesi baru yang anak muda gandrungi. Ini fenomena yang menarik. Yang jangan dilewatkan peluang ini oleh para pengelola media.
Artinya dengan banyaknya anak muda yang terlibat, regenerasi akan terjadi dengan baik di media digital. Apalagi kita sangat yakin dengan bergabungnya banyak anak muda di perusahaan media, akan timbul semangat baru. Yang ujungnya akan memberikan perubahan ke arah yang lebih baik.
Persoalan perubahan media bukan hanya sekadar latah berpindah ke platformnya saja. Perubahan juga harus dilakukan menyeluruh. Teruama konten dan cara kerja para pengelolanya.
Dari sisi konten misalnya. Jika dulu koran cetak hanya memproduksi berita atau news, di platform digital harus berubah. Media harus menjadi “Pabrik Konten”. Bukan hanya berita yang dibuat. Media harus memproduksi konten lain. Bisa konten untuk video, infografis, audio dan bisa gabungan di antara media itu. Bahkan bisa membut konten untuk televisi.
Bukan itu saja, media juga harus menyiapkan konten untuk media sosial, baik itu untuk Instagram, facebook, Twitter, YouTube, WA dan yang lainnya. Intinya media harus berperan menjadi pabrik besar pembuat konten digital, bukan hanya sekadar pembuat berita koran atau online.
Begitu pula sumberdayanya, teruma SDM. Jika di koran cetak itu wartawan adalah rajanya, di digital media ini berbeda. Fungsi wartawan sebagai pembuat berita tentu bisa jadi hanya 30 persen. Lebih banyak digantikan oleh para konten kreator. Bisa pengonten tulisan, videografer, YouTuber, pengonten medsos dan penyiar dan editor tv online. Bahkan bisa ditambah dengan para pekerja media handling. Yang juga penting adalah tenaga teknologi informasi (IT).
SDM di pemasarannya pun akan berubah. Semua berbasis digital. Misalnya, jika masih harus ada konten berlangganan, basisnya pun digital. Begitu juga kalau ada pemasang iklan atau advertorial langsung, cara kerjanya berbeda dengan koran. Digital marketing menjadi basis media ini.
Problemnya memang ada, terutama setalah pabrik konten beroperasi. Konten-konten tersebut akan dijual kemana dan kepada siapa? Walau tidak banyak, sudah ada yang sukses menjual kemana dan kepada siapa hasil produksi prabik konten itu. Apalagi konten ini sebagian besar dibuat anak muda, yakinlah selalu ada jalan keluar. Menurut kita yang senior sudah out of the box, tapi bagi anak muda dianggap biasa saja. Tak perlu ragu kepada mereka.
Memang perubahan ini tidaklah gampang. Terlalu banyak stigma buruk yang ditujukan ke media perubahan itu. Termasuk menjadi sumber hoax, sumber daya rusak, dan mematikan kesaktian media itu sendiri.
Tidak dipungkiri, itu memang terjadi. Tapi kalau media yang merasa baik dan tidak mau ikut arus perubahan, justru lebih berbahaya. Di ranah dunia maya malah akan dikuasai media yang buruk, perusak dan penebar informasi bohong.
Soal ungkapan kalau media cetak itu dianggap sebagai penjaga peradaban, itu yang perlu kita kritisi. Katanya: “jika media rusak, peradaban juga rusak”. Ungkapan itu tak ada yang salah. Tapi anggap saja sebagai pujian. Tak perlu menepuk dada keras-keras.
Begitu juga kalau media mainstrem itu sebagai pilar ke-4 demokrasi, anggap saja hanya sanjungan. Walau faktanya, soal demokrasi justru nitezen-lah yang lebih berkuasa, ketimbang media.
Jargon-jargon, pujian, sanjungan dan merasa paling hebat di masa lalu itu adalah godaan setan terkutuk bagi media pro-perubahan. (*)