Oleh Iqbal Mochtar
Menteri Kesehatan (Menkes) Ir. Budi Sadikin kayaknya lagi perhatian banget sama dokter-dokter. Akhir-akhir ini beliau banyak mengeluarkan statemen terkait dokter. Dimuat di media-media nasional lagi. Bermacam-macam issu dokter ditelisiknya. Udah kayak drama seri. Sayangnya, kok hampir semua statemennya berkonotasi negatif ya? Jarang bernada positif. Belum pernah terngiang beliau memuji dan meng-appreciate dokter. Yang tersembur sisi-sisi negatif dokter melulu. Entah mengapa.
Yang baru-baru ini beliau menyentil rekomendasi praktik dokter.
Poin pertama. Kata pak Menkes, beliau ‘mendengar informasi’ kalau dokter-dokter sulit mendapatkan rekomendasi praktik dari organisasi profesi (OP). Yang dimaksud OP ya tentu saja IDI.
Perhatikan kata ‘mendengar informasi’. Kata ini subyektif, belum obyektif. Sebagai seorang pejabat teras, mestinya setiap info yang direlease ke media sifatnya obyektif. Mestinya sebelum ngomong ke media pak Menkes klarifikasi dulu dengan dokter-dokter dan IDI; apa memang ada kasus begitu?
Frankly mentioning, pastilah memang ada kasus yang mempersulit. Gak mungkin semua mulus. Tapi jumlah kasus demikian ada berapa? Apakah ada ratusan? Kalau cuma beberapa kasus sih, ya enggak bisa digeneralisir; apalagi diinfokan ke media massa. Kemudian juga, apa penyebabnya kesulitannya: jangan-jangan ada berkasnya yang enggak lengkap. Karena berkas enggak lengkap dan diminta dilengkapi, lantas dianggap mempersulit.
Sekedar info, saat ini telah ada ratusan ribu dokter yang praktik di Indonesia, baik praktik umum maupun spesialis. Kalau memang ada ‘kesulitan universal’ mendapatkan rekomendasi praktik, kok bisa ada ratusan ribu dokter praktik selama bertahun-tahun? Mungkin pak Menteri bisa buat survei dan nanyakan langsung ratusan ribu dokter tersebut : apa memang mereka kesulitan dapat rekomendasi? Ya pastilah ada beberapa yang mengaku kesulitan; tetapi jumlahnya berapa? Kalau misalnya dari ratusan ribu yang telah praktik, sekitar 10-50 kasus mengalami kesulitan ya kan enggak signifikan. Bahasa statistiknya itu ‘outlier’. Enggak bisa digeneralisir.
Lagian, mana ada sih insitusi yang bebas dari proses sulit-mempersulit? Kalau misalnya semua dokter butuh surat rekomendasi Kemenkes, apa pak Menkes bisa menjamin enggak satupun dokter akan mengalami kesulitan di Kemenkes?
Poin kedua. Kata beliau, organisasi profesi ada yang meng-abuse power. Menyelewengkan kekuasaan. Kok bahasanya kayak tendensius dan exagerating banget, ya pak?
Emang power dan kekuasaan apa yand diabuse ya? Emangnya OP atau IDI itu lembaga tinggi negara atau pejabat teras yang powernya nyaris tak terhalang? Emangnya apa power organisasi? Apa IDI bisa memberi gelar spesialis kepada dokter, atau memberi surat izin praktik, atau memiliki wewenang menentukan penerimaan dokter spesialis? IDI sama sekali enggak punya wewenang itu pak. Lantas maksudnya power apa? Power-ranger?
Gini lo pak, OP sama sekali enggak bisa memberi gelar spesialis, memberi izin praktik atau menjamin diterimanya pendidikan spesialis. OP hanya bisa memberikan rekomendasi etik sebagai bahan pertimbangan bagi Dinas Kesehatan mengeluarkan surat izin praktik. Rekomendasi artinya bisa diterima atau ditolak. Kan ada kasus dimana Dinas Kesehatan memberi SIP tanpa rekomendasi IDI. Jadi clear ya, bahwa istilah abuse of power itu amat tendensius, exagerating dan baseless.
Poin ketiga. Katanya ada ‘main duit’ dan ‘setoran’ dalam pemberian surat rekomendasi. Sekali lagi, sumber informasi pak Menkes adalah ‘dengar-dengar’ atau ‘dapat laporan’. Katanya, ada OP yang minta setoran untuk keluarkan surat rekomendasi. Wah diskusi asyik nih, karena menyangkut masalah duit.
Harusnya kalau ada desas-desus begini, sekali lagi, pak Menkes jangan langsung ngomong ke media. Menyebarkan desas-desus ke media berpotensi mengkreasi hoax atau fitnah. Seharusnya kalau ada issu begini ya klarifikasi. Check dan recheck. Panggil yang tertuding; kan katanya datanya ada. Panggil OP dan duduk bersama. Investigasi dan telisik. Apa memang benar ada setoran? Kalau benar ada, buat apa? Jangan-jangan yang dimaksud setoran adalah ‘pembayaran iuran’ yang memang wajib bagi anggota OP. Kan dimana-mana anggota organisasi memang perlu bayar iuran.
Kalaupun ternyata memang benar ada ‘setoran liar’, kan gampang; sisa laporkan ke polisi. Biar polisi yang investigasi. Itulah proper channel of communication-nya. Jangan ngomong dan laporkan ke media. Karena kalau tidak terbukti, artinya pak Menkes nyebarin hoax dan fitnah. Akan menggiring opini seolah-olah IDI itu bobrok banget dan sarang mafia. Padahal kan belum tentu.
Gini aja, kan KPK sudah ‘nantangin’ tuh buat laporkan. Ya laporkan aja dugaan bapak, lengkap dengan oknumnya siapa. Biar bisa diselidiki. Terbukti benar atau enggak statemen bapak.
Satu lagi, kalaupun benar terbukti ada satu atau dua yang benar-benar narik ‘setoran liar’, itu tentu oknum pak. Dokter itu enggak miskin-miskin banget hingga semuanya harus memalak temannya yang lain. Kalau oknum yang lakukan, ya enggak bisa digeneralisir ke OP. Kalau misalnya ada staf Kemenkes yang korup, apakah kita bisa bilang satu Kemenkes korup semua?
Intinya hanya empat pak Menteri.
Satu, jangan mudah menuduh. Kalau ada laporan terkait hal tidak benar, perlu dilakukan klarifikasi, cek dan ricek. Lakukan diskusi dengan pihak terkait. Utamakan husnuzzan dan konfirmasi obyektif.
Dua, jangan mudah mengeneralisir. Dunia ini tidak sempurna. Selalu ada satu atau beberapa oknum yang mungkin melakukan disrupsi. Dalam keadaan demikian, jangan enteng mengeneralisir. Kalau ada satu atau dokter yang deviasi, jangan bilang satu IDI bobrok.
Ketiga, jangan mudah angkat desas-desus ke media. Desas-desus itu subyektif; bukan barang obyektif. Sebaiknya yang direlease ke media adalah info yang sudah valid dan terkonfirmasi kebenarannya. Setiap info yang keluar dari pejabat teras seperti bapak harus teruji keakuratannya. Harus terjaga impartialitasnya. Jangan asal release. Kalau tidak, kasihan masyarakat dan pihak yang dibicarakan.
Keempat, be positive lah dengan dokter. Jangan Bapak terus aja sembur info-info negative tentang dokter yang belum tentu benar. Sekali-sekali ceritakankan kek kebaikan dokter, termasuk bagaimana mereka berkontribusi terhadap negeri ini. Jangan mereka digadang-gadang hanya saat ada kepentingan. Ketika pandemi berkecamuk, ratusan teman dokter kami tewas bergelimpangan. Saat itu dokter dilabel sebagai ‘real hero’. Begitu pandemi mereda, dokter dihumiliasi dengan image negatif melulu. Mari be positive pak; be husnuzzan. Agar perjalanan hidup kita berkah dan bermanfaat. (*)